Ketua DPRD Sidoarjo Soroti Munculnya Beras Oplosan di Tengah Gencarnya Penyaluran Bantuan Pangan

Ketua Komisi D DPRD Kabupaten Sidoarjo, H. Dhamroni Chudlori

SIDOARJO,Mediarepublikjatim.com-Temuan 12,5 ton beras oplosan di sebuah rumah produksi di Desa Keper, Kecamatan Krembung, Kabupaten Sidoarjo, memicu keprihatinan DPRD setempat. Apalagi, kasus ini terjadi di tengah gencarnya pemerintah menyalurkan bantuan pangan beras bagi masyarakat."Ketua Komisi D DPRD Kabupaten Sidoarjo, H. Dhamroni Chudlori mengapresiasi langkah satgas pangan dalam mengungkap beras oplosan di Sidoarjo. Namun pihaknya menilai operasi pengawasan tidak boleh hanya menyasar pasar tradisional, melainkan ritel-ritel maupun pengusaha besar.“Yang harus diperiksa bukan cuma pedagang di tingkat bawah. Namun tempat penggilingan-penggilingan gabah yang memasok pasar juga perlu diawasi. Bahkan, produsen besar harus jadi prioritas penertiban,” ucap H. Dhamroni Chudlori saat di wawancarai di kantornya, Kamis, (14/8/2025).

Bukan tidak mungkin, lanjut anggota Fraksi PKB tersebut, menurutnya hilangnya beras premium di sejumlah supermarket usai pengungkapan kasus Krembung patut juga dicermati.“Jangan-jangan produsen besar yang bermain. Nah ini yang perlu di cermati. Karena begitu setelah kejadian itu, beras-beras premium di supermarket/ritel-ritel banyak yang sudah hilang. Nah, inilah perlu adanya koordinasi bersama Forkopimda untuk membahas persoalan ini secara menyeluruh,” tandasnya.

Dalam kasus ini, lanjut Dhamroni, pihaknya mengingatkan bahwa pemerintah daerah juga memiliki tanggung jawab dalam melindungi seluruh pelaku usaha, termasuk penggilingan kecil yang kerap mengeluh dibayangi operasi aparat.“Ada keluhan dari pelaku PERPADI (persatuan pengusaha penggilingan padi) yang rumahnya sampai dikepung saat operasi, seperti menangkap bandar narkoba. Kita harus cari solusi bersama bupati supaya penegakan hukum berjalan, tapi pelaku kecil tidak (merasa) terintimidasi,” tegasnya.

Sementara Wakil Ketua Komisi D DPRD Sidoarjo H. Bangun Winarso mengungkapkan pokok permasalahan yang terjadi di lapangan adalah hanya persoalan sampul, yang mana beras yang kualitasnya biasa-biasa saja dicanpur dan dikemas sebagai beras “premium,“Yang jadi persoalan kan hanya bungkus, beras tulisannya premium, tapi isinya biasa-biasa saja. Dan ini banyak terjadi. Bukan hanya di tingkat pengusaha kecil,” tukasnya.

Anggota Fraksi PAN ini justru, menyoroti bagaimana masyarakat atau pengusaha bisa diberi edukasi atau pemahaman agar tetap menjaga aspek kesehatan dari beras yang di produksi. Misalnya, larangan penggunaan bahan kimia berbahaya.“Beras yang dipoles berlebihan atau terlalu putih atau ‘glowing’ seringkali dipoles dengan bahan kimia seperti tawas atau pemutih. Itu sangat berbahaya bagi kesehatan. Semakin banyak dipoles, semakin berkurang kandungan gizinya,” ungkapnya.

Menurut Bangun, masyarakat perlu diedukasi bahwa penampilan beras bukan jaminan kualitas. “Beras kusam yang alami justru lebih sehat. Kalau dipoles habis-habisan, vitamin dan karbohidratnya menjadi hilang,” papar Bangun Winarso."Disisi yang lain, pemerintah saat ini juga tengah gencar menyalurkan beras bantuan pangan untuk membantu meringankan perekonomian warga. Meski demikian pihaknya juga menyarankan agar para penyalur juga bisa memastikan kualitas beras yang akan didistribusikan.“Tidak ada jaminan seluruh beras bantuan sosial (bansos) yang disalurkan ke masyarakat bebas dari pengoplosan. Kadang kualitasnya di bawah premium, bahkan medium ke bawah. Menurut kami selama (beras) sesuai kemasan, itu masih sesuai aturan. Tapi kalau tertulis premium, isinya juga harus premium,” tegasnya.

Ia menerangkan bahwa pemberian bantuan sosial alias bansos di Sidoarjo berasal dari dua sumber: program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dari Kementerian Sosial Republik Indonesia (RI) untuk sekitar 83.000 penerima, dan program beras untuk masyarakat miskin (Raskin) Pemkab Sidoarjo untuk sekitar 7.000 penerima.“Nah, penyalur wajib memastikan apakah isi beras sudah sesuai dengan standar. Kalau medium ya medium, jangan dikemas premium,” pintanya.

Senada disampaikan anggota komisi D yang lain, H. Tarkit Erdianto. Pihaknya sangat mengapresiasi langkah tegas aparat dalam menertibkan hal-hal yang menyimpang di masyarakat. Terutama hal itu berkaitan dengan bahan pokok makanan. Meski demikian, pihaknya menyarankan agar pemerintah lebih intens memberikan pembinaan bagi pelaku usaha.

Seharusnya pengusaha-pengusaha besar yang menguasai pasar yang jadi fokus utama dalam penertiban. Sedangkan penggilingan kecil perlu diedukasi terutama soal standar beras berapa persen butiran utuh, kadar air, dan sebagainya sebelum langsung dilakukan penindakan,” jelasnya."Disamping itu, pihaknya juga menekankan agar pemerintah daerah dapat memberikan solusi jangka panjang. Misalnya, memperkuat ketahanan pangan melalui lumbung desa baik yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) atau koperasi merah Putih.

Ia mencontohkan Desa Kalidawir yang berencana menampung panen warga melalui Bumdes agar kebutuhan beras lokal terpenuhi tanpa tergantung pasokan luar. “Kalau desa mampu memenuhi kebutuhan berasnya sendiri, itu bukan sekadar ketahanan pangan, tapi sudah kedaulatan pangan. Surplusnya bisa dijual ke desa lain dengan harga stabil,” urainya."Meski demikian, hal itu perlu adanya pembinaan dan support pemerintah daerah agar di masing-masing desa dapat menciptakan lumbung pangan sendiri.

Politisi asal PDI Perjuangan itu sepakat, jika pemberantasan beras oplosan harus dilakukan secara menyeluruh, baik dari hulu hingga hilir, tanpa mematikan usaha kecil. Edukasi kepada pelaku usaha, penegakan standar mutu, dan pembinaan petani juga menjadi kunci.“Ketahanan pangan hanya tercapai kalau petani mau menanam padi. Untuk itu, pupuk, air, dan harga panen harus terjamin. Penegakan hukum terhadap beras oplosan penting, tapi jangan sampai membuat pasar kosong dan memicu terjadinya inflasi,” papar Tarkit.

Seperti diketahui, Satgas Pangan Polresta Sidoarjo Polda Jawa Timur mengungkap praktik pengoplosan beras sebagai tindak lanjut instruksi Presiden Prabowo Subianto agar aparat menindak tegas peredaran beras yang tidak sesuai mutu standar. Hasilnya di tempat produksi di Desa Keper Krembung, beras yang dikemas sebagai “premium” ternyata kualitasnya tidak memenuhi persyaratan, mulai dari kadar air hingga tingkat keutuhan butiran.

Tim Satgas langsung melakukan sidak di Pasar Tradisional Larangan Sidoarjo guna antisipasi peredaran beras oplosan di wilayah hukum Sidoarjo. Tim mendapatkan sample beberapa produk dan merk beras premium dan salah satunya dengan merk SPG. Selanjutnya dilakukan cek mandiri di kantor Bulog Surabaya diperoleh hasil, bahwa kualitas beras yang dijual tersebut diduga tidak sesuai dengan mutu standar atau kualitas premium.

Tim Satgas Pangan Sidoarjo mendatangi tempat produksi beras premium oleh CV. Sumber Pangan Grup dengan merk SPG di Desa Keper, Kecamatan Krembung, milik Sdr. MLH. Hasil penyelidikan di lokasi tempat produksi beras merk SPG bersama Kapolda Jatim Irjen. Pol. Nanang Avianto, saksi ahli dari Badan Standarisasi Nasional, ahli dari perlindungan konsumen Disperindag Jatim dan uji laboratorium terkait standarisasi mutu beras premium, dengan pengambilan sampel beras SPG bahwa pemilik usaha tidak dapat menunjukkan bukti uji lab terhadap beras premium hasil produksi di perusahaannya tersebut.

Pemilik CV SPG juga tidak mempunyai kompetensi atau pengetahuan dalam hal produksi beras premium, terhadap mesin operasional tidak pernah dilakukan uji layak produksi dari pihak yang berwenang serta pada kemasan beras premium dengan merk SPG tercantum tanda SNI dan logo Halal yang pada faktanya belum mempunyai sertifikat tersebut.

Atas dasar tersebut MLH beserta barang bukti diamankan ke Polresta Sidoarjo untuk proses penyidikan lebih lanjut. Irjen Pol. Nanang Avianto memaparkan hasil beras oplos merk SPG, tidak sesuai dengan standar mutu (SNI beras Premium No. 6128 : 2020) yang di tetapkan Permentan No. 31 tahun 2017 tentang kelas mutu beras dan Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) No. 2 tahun 2023 tentang persyaratan mutu dan label beras.

“Beras merupakan kebutuhan pokok masyarakat, jangan sampai ada permainan soal mutu beras. Tersangka MLH, dikenakan ancaman hukuman Pasal 62 Jo. Pasal 8 ayat (1) huruf a, d, e, dan h Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,” tegas Kapolda Irjen Nanang Avianto.(pgh/lim)